Berikut adalah salah satu isi
dari ebook yang ingin saya bagikan kepada teman-teman semua secara gratis. Isi
ebook ini terdiri dari berbagai macam kisah atau cerita motivasi dan menurut saya sangat bagus untuk dibaca
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh cerita berjudul : Agar
Bisa Lebih Menghargai
- Anisatul Illiyin -
Dulu, saya sering sekali mengeluh karena belum menikah. Saya selalu
merasa ingin memiliki seorang suami yang dengan kekuatannya akan menutupi
kelemahan saya, yang dengan ketelitiannya akan menutupi kecerobohan saya, yang
dengan kelebihannya akan menutupi kekurangan saya.
Saat saya harus bercapek-capek naik ke lantai atas rumah saya
membawa dua sampai tiga ember pakaian yang telah dicuci untuk dijemur,
kadang-kadang saya mengeluh, "Senangnya kalau punya suami, nggak usah
ngangkat-ngangkat ember kayak begini".
Saat saya harus pergi belanja ke pasar dan pulang kelelahan membawa
belanjaan yang berat, saya juga mengeluh "Bahagianya punya suami, nggak
mesti jalan sendirian. Nggak perlu bawa-bawa belanjaan berat kayak begini
lagi."
Saat suatu hari saya mencoba meluruskan cantelan tas yang terbuat
dari besi dengan menggunakan tang, saya pun mengeluh, "Kalo punya
suami... nggak harus megang-megang tang kayak gini nih, tangan pake lecet
segala lagi." Saat saya mencoba mengganti lampu yang mati dengan yang
baru, sekali lagi saya mengeluh, "Wah, enaknya punya suami, nggak mesti
naik-naik tangga kayak begini benerin lampu, pake kena setrum lagi..."
Biasanya saya suka menimpali diri saya sendiri, "Emangnya
suami tukang ngangkatin ember?!" atau "Emangnya suami tukang benerin
lampu?!", "Emangnya suami apaan?!"
Tapi itu dulu... hingga suatu hari saya bertemu dengan kakak sepupu
saya beberapa waktu lalu.
Dia seorang wanita karir, dan saya tidak menyangka akan mendapatkan
pelajaran berharga darinya. Sepupu saya itu bercerita bahwa ia harus bekerja
dari pagi sampai sore hari. Sebenarnya mungkin tidak terlalu banyak yang dia
kerjakan di kantor. Hanya saja dia harus datang sebelum bosnya datang dan
pulang
setelah bosnya pulang. Jarak antara rumah kosnya dengan kantornya
yang cukup jauh, ditambah dengan kemacetan di jalan, sangat menyita banyak
waktunya.
"Melelahkan! Kalau saat ini kakak udah punya suami dan punya
anak..." katanya, "wah, susah banget deh jadi wanita karir, jadi
istri, trus jadi ibu pula pada saat yang bersamaan."
Itulah yang membuatnya mengambil keputusan bila ia menikah nanti ia
akan melepaskan pekerjaannya. Ia meragukan dirinya bisa menyiapkan sarapan
untuk suaminya sebelum berangkat bekerja sementara ia sendiri harus bersiap
untuk pergi bekerja juga, menyediakan makan malam untuk suaminya sebelum pulang
kantor padahal ia sendiri mungkin masih keletihan karena baru pulang dari
kantor, itu pun kalau dia sudah pulang. Sulit baginya membayangkan bagaimana ia
akan menjalankan perannya sebagai istri di rumah bila ia tetap mempertahankan
pekerjaannya yang melelahkan itu.
Mungkin tidak banyak wanita di zaman ini yang sependapat dengannya.
Karena saya lihat di luar sana banyak wanita yang telah bekerja kemudian
menikah akan tetapi tetap mempertahankan pekerjaanya. Dan (tampaknya) mereka
baik-baik saja.
Mendengar keluh-kesahnya, saya tidak merasa lebih beruntung karena
pekerjaan saya di rumah lebih ringan dibandingkan pekerjaanya. Ingin rasanya
waktu itu saya meyakinkan kakak sepupu saya itu bahwa pekerjaan di rumah juga
tidak kalah melelahkan dengan menjadi seorang wanita karir seperti dia. Namun
belum sempat saya bercerita, "Tapi... ada hikmahnya juga kakak
ngerasain capek-capek kerja kayak gini..." katanya, "pergi pagi,
pulang malem, sibuk di kantor, dan capek di jalan..."
Dia memandang saya dengan mata yang menerawang. Sementara saya
mencoba mengerti hikmah apa sebenarnya yang dia maksud.
"Ternyata... begini toh rasanya bekerja keras, bersusah payah
mencari uang buat makan. Ternyata nggak gampang! Kakak jadi bisa lebih
menghargai suami kakak nanti yang nyari nafkah buat kakak..." katanya
mengakhiri perbincangan hari itu. Kata-kata itulah yang membuat saya berhenti
mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan di rumah dan berhenti
berandai-andai kalau saya punya suami maka pekerjaan saya akan lebih ringan.
Yah, saya jadi menyadari bahwa pekerjaan suami itu jauh lebih berat
dari sekadar mengangkat ember atau membawa belanjaan sehingga saya harus lebih
menghargai jerih payahnya dan rela ngangkat-ngangkat sendiri. Tanggung jawabnya
lebih besar dari sekadar menjaga saya dari setruman listrik atau melindungi
tangan saya supaya nggak lecet sehingga saya harus lebih menghormatinya dan
lebih berhati-hati menjaga diri saya sendiri. Tapi... saya rasa walaupun setiap
wanita sanggup dan rela melakukan itu semua sendiri, sepertinya seorang suami
tidak akan rela. Sehingga dialah yang akan melakukannya untuk isterinya. Dan
pada saat itulah sang istri tahu apa yang harus ia lakukan untuk suaminya.
Sekarang, saya menikmati melakukan semua pekerjaan saya di rumah.
Saya hayati bagaimana pun beratnya pekerjaan itu, bagaimana pun susahnya
pekerjaan itu. Supaya suatu saat nanti saya akan lebih menghargai seseorang
yang akan melakukan semua itu untuk saya.
Silahkan download ebook ini disini